Logo Kemkes
Berita dan Pembaruan

Kemenkes Resource Center

/

News

/

Layanan Kesehatan Digital Indonesia: Tantangan Akses Internet dan Kehadiran Starlink

Layanan Kesehatan Digital Indonesia: Tantangan Akses Internet dan Kehadiran Starlink

02 December 2024 10:00

Kementerian Kesehatan

Menjembatani Kesenjangan Digital dalam Layanan Kesehatan Indonesia Melalui Teknologi Satelit

Layanan Kesehatan Digital Indonesia: Tantangan Akses Internet dan Kehadiran Starlink

Pemerataan akses jaringan internet di Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama karena mahalnya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur telekomunikasi yang memadai untuk wilayah seluas Indonesia. Tantangan ini berdampak signifikan pada berbagai sektor publik, termasuk sektor kesehatan. Penerapan rekam medis elektronik, yang penting untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan kesehatan di 31 ribu fasilitas kesehatan di seluruh negeri, terhambat oleh kurangnya akses internet yang stabil dan merata. Namun, kemunculan Starlink, layanan internet berbasis satelit yang menjanjikan akses cepat dan terjangkau, memberikan secercah harapan untuk mengatasi permasalahan ini.

Keterbatasan Akses Internet yang Menghambat Digitalisasi Kesehatan

Digitalisasi adalah upaya mujarab dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Salah satu implementasi digitalisasi adalah perancangan SATUSEHAT sebagai ekosistem pertukaran data kesehatan (HIE: Health Information Exchange). Dengan SATUSEHAT, setiap pemangku kepentingan seperti fasyankes, regulator, penjamin, dan penyedia layanan digital bertemu dalam satu sistem informasi.

Namun pada kenyataannya, dari 32,000 target Puskesmas yang ingin dipersiapkan untuk SATUSEHAT, hanya 1800 yang berhasil masuk tahap standardisasi. Menurut data Indeks Kematangan Digital (Digital Maturity Index/DMI) Kementerian Kesehatan, pada tahun 2023, jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang terlibat dalam penilaian baru hanya berjumlah sebanyak 146 buah, dengan skor rata-rata DMI mencapai 2,73 dari total nilai 5,00.

Salah satu kendala yang menghambat pemerataan implementasi SATUSEHAT adalah tidak adanya dua hal utama yang memungkinkan digitalisasi itu sendiri terjadi, yaitu tidak meratanya sinyal internet yang memungkinkan platform kesehatan digital itu sendiri untuk digunakan.

Apa Saja Titik Masalah Penyebab Tidak Meratanya Ketersediaan Internet di Indonesia?

Dikutip dari data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengenai penetrasi layanan internet di Indonesia pada 2021-2022, 62.655.831 jiwa masyarakat Indonesia tidak terjangkau internet. Provinsi dengan penetrasi internet terendah adalah Sulawesi Barat 57,58 persen, disusul Papua Barat 64,8 persen, NTB 65,1 persen, Aceh 68,1 persen, Papua 68,9 persen. Menurut World Bank, Indonesia memiliki kecepatan data seluler rata-rata terendah kedua di dunia dan ketiga di ASEAN.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menjamin pemerataan jaringan internet di seluruh wilayah Indonesia. Namun, masih terdapat beberapa tantangan yang menjadi penghambat.

Pemerintah Indonesia melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (BAKTI Kominfo) telah melakukan beragam usaha peningkatan infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Peta Jalan Digital Indonesia tahun 2020-2024, strategi penyediaan akses internet di wilayah 3T yang dilakukan BAKTI meliputi pembangunan BTS (Base Transciever Station), penyediaan jaringan serat optik Palapa Ring, penyediaan HBS (Hot Backup Satellite), dan pengoperasian Satelit SATRIA-1 (Satelit Republik Indonesia-1). Pada tahun 2025, BAKTI Kominfo menargetkan sekitar 1000-2000 desa tambahan dapat menjadi situs pembangunan BTS 4G, menuntaskan penyediaan konektivitas digital untuk seluruh desa di Indonesia, dengan 4.343 desa sudah terbantu oleh BTS 4G di Indonesia per tahun 2023. Kombinasi teknologi ini dapat menjamin pemerataan akses, dikarenakan BTS dapat melayani daerah-daerah dengan populasi terpusat, sedangkan satelit dapat menjangkau area yang lebih luas dan terpencil yang sulit dijangkau dengan infrastruktur terestrial. Selain itu, kedua teknologi ini dapat dengan mudah ditingkatkan kapasitasnya untuk memenuhi permintaan yang meningkat, baik dengan menambah BTS baru atau meningkatkan kapasitas satelit. BTS yang terhubung dengan jaringan terestrial dan HBS yang tetap berjalan meskipun satelit utama mengalami gangguan, menyediakan koneksi internet yang cepat dan stabil. Pemerintah juga melakukan inovasi teknologi baru seperti 5G dan fixed wireless access untuk meningkatkan jaringan internet yang lebih stabil dan merata.

Namun, pembangunan infrastruktur sering terkendala beberapa hambatan.

Dari segi pendanaan, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), harga satu tower internet berada di rentang Rp 600 juta - Rp 1,5 miliar, dengan nominalnya tergantung lokasi dan jalur distribusi materialnya. Keterbatasan sumber daya dan penyalahgunaan dana pembangunan juga mempersulit pembangunan infrastruktur sinyal yang efektif, seperti kasus korupsi proyek BTS 4G Kominfo yang diduga merugikan negara hingga Rp 8 triliun. Kendala pendanaan juga berhubungan dengan sulitnya perolehan izin dan peminjaman lahan dari pemerintah daerah untuk pembangunan, yang sering mengenakan biaya kepada operator, serta kebutuhan logistik untuk menginstalasi infrastruktur di tempat dengan kondisi geografis yang menantang, seperti daerah di wilayah pegunungan atau hutan lebat dengan vegetasi yang menghalangi sinyal radio dan satelit. Selain itu, dari segi value for money, kebanyakan pihak swasta memilih untuk tidak berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur penyedia jaringan di daerah terpencil karena tingkat penggunaan masyarakat yang rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya literasi digital dan kemampuan finansial masyarakat. Menurut survei Kementerian Komunikasi dan Informatika, indeks literasi digital Indonesia pada 2022 mencapai 3,54 dari skala 1-5. Pada tahun 2019, menurut Persatuan Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Union/ITU), Indonesia menduduki peringkat 131 dari 200 negara dalam hal keterjangkauan layanan jaringan internet. 44% rumah tangga di Indonesia menyatakan bahwa harga mahal adalah alasan mereka tidak ingin berlangganan internet. Alhasil, apabila pemerintah swasta melakukan investasi, akan berujung pada pemakaian teknologi yang sedikit oleh masyarakat dan return of investment yang rendah.

Alasan kedua adalah kurangnya usaha pemeliharaan atau perbaikan infrastruktur di daerah terpencil karena kurangnya kapasitas sumber daya manusia atau tidak tersedianya teknologi yang terbarukan di daerah tersebut, sehingga yang tersedia sudah usang dan tidak menghasilkan performa yang efektif. Selain itu, letak geografis Indonesia di Ring of Fire meningkatkan risiko bencana alam yang dapat mempengaruhi koneksi internet, contohnya gempa di Papua tahun 2016 yang menyebabkan gangguan telekomunikasi di wilayah timur. Selain itu, bencana alam, iklim panas dan lembab dapat menyebabkan kerusakan pada perangkat keras dan infrastruktur, seperti kabel atau perangkat router, yang dapat mengganggu kualitas jaringan. Teknologi satelit, meskipun canggih, dapat terpengaruh oleh kondisi cuaca ekstrem seperti badai atau hujan lebat yang dapat mengganggu sinyal.

Terakhir, sistem pemerintahan yang tidak mendukung juga menghambat pembangunan infrastruktur penyedia sinyal yang efektif. Dari segi regulasi, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) juga menyorot kurangnya sinergi peraturan pusat dan daerah dalam hal perizinan pembangunan, tidak adanya peraturan yang mengatur penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang menjadi beban tertinggi dari operator seluler, atau dapat diadakannya regulasi yang memberikan insentif kepada pihak swasta untuk membangun infrastruktur penyedia jaringan di daerah tertinggal. Selain itu, regulasi yang cenderung tumpang tindih atau kurangnya koordinasi yang baik antar lembaga pemerintahan juga menghambat proses implementasi regulasi yang ada.

Kehadiran Starlink

Kehadiran Starlink di Indonesia mendapat sambutan hangat dari pemerintah. Elon Musk yang hadir di World Water Forum di Bali ikut menitipkan produk terminal internet yang terhubung dengan lebih dari 40 ribu satelit yang mengelilingi bumi, menjadikannya sebagai penyedia jaringan internet cepat dengan pemasangan mudah bahkan untuk area terpencil. Salah satu penerapan Starlink pertama dilakukan oleh Menteri Kesehatan Indonesia Budi Gunadi Sadikin, yang meluncurkannya di tiga puskesmas Indonesia pada saat penyelenggaraan World Water Forum tersebut, yaitu dua di Bali dan satu di pulau terpencil Aru di Maluku.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkap akan memanfaatkan jaringan internet Starlink sebagai penyedia internet di 10 ribu puskesmas. Dengan Starlink, Menkes berharap bisa menghadirkan pemerataan jaringan internet, termasuk 3.400 puskesmas di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) di 7.000 pulau di Indonesia. Starlink dapat menjadi salah satu solusi yang mempermudah pemerataan akses internet di Indonesia, dikarenakan beberapa keunggulannya sebagai berikut:

  1. Starlink adalah teknologi internet satelit dengan penempatan Low Earth Orbit (LEO), yang ditempatkan dengan jarak antara 500 km - 2000 km di atas bumi, jauh lebih dekat dibandingkan satelit tradisional seperti Viasat yang beroperasi di Orbit Geostasioner (GEO) di ketinggian 35.786 km dari atas garis khatulistiwa. Perbedaan ketinggian ini membuat latensi lebih rendah, yang membuat Starlink diklaim lebih responsif dan lebih cepat.
  2. Starlink menguasai 60% dari 75.000 satelit yang melakukan orbit di bumi, sehingga jangkauannya luas. Selain itu, pemasangan Starlink sangat mudah dan tidak bergantung pada infrastruktur fisik seperti kabel panjang, yang memungkinkan capaiannya ke daerah terpencil dan tidak terganggunya sinyal saat pemadaman listrik.
  3. Starlink bahkan lebih cocok ditempatkan di daerah terpencil, karena Starlink tidak dapat berfungsi efektif apabila diposisikan di dekat pohon atau bangunan tinggi. Starlink berfungsi paling baik apabila ditempatkan di tanah terbuka atau di atas atap.

Meskipun demikian, harga yang ditawarkan Starlink masih relatif lebih mahal dibandingkan dengan penyedia jaringan lokal. Saat ini, Starlink menawarkan biaya layanan Rp750.000 per bulan, dengan perangkat keras-nya seharga Rp7,8 juta. Untuk pembelian awal, Starlink masih memberikan diskon pemesanan hingga 40% untuk perangkat keras. Menurut penulis, hal ini berarti pemanfaatan Starlink harus disertai dengan kebijakan subsidi oleh pemerintah kepada masyarakat setempat, agar sinyal yang disediakan tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh fasilitas kesehatan, namun juga pasien dan praktisi kesehatan sebagai pengguna.

Starlink merupakan batu loncatan kerjasama sektor swasta dan pemerintah untuk mendukung penyediaan jaringan di Indonesia. Skema kerjasama publik dan swasta juga dapat dilakukan untuk pembangunan infrastruktur penyedia jaringan di Indonesia untuk mengurangi risiko dan meringankan pembiayaannya. Diharapkan dengan adanya Starlink, penerapan SATUSEHAT dapat menjadi semakin efektif, dan mendorong pemerataan akses kesehatan yang berkualitas di seluruh Indonesia.

Penulis: Irene YHHI